Di Posting Oleh : INFO PENDIDIKAN
Kategori : EDUCATION Politik Dan Tatanegara
Fenomena bandwagoning melanda Indonesia dalam menyambut tahun politik 2014. Tahun yang konon kabarnya ialah momentum kebangkitan Indonesia yang sesungguhnya. Kebangkitan itu secara formal dimulai 9 April 2014 dan dipastikan lewat Pilpres 2014. Dalam penyambutan ini , seluruh pemain politik sudah tidak kepalang tanggung memeriahkannya. Terbukti dari banyaknya para "penghuni pohon" , "penghuni jembatan" , "penghuni pagar" , dan yang bermodal besar "iklan pemain film produk bunyi pemilu" di televisi iklan berbayaran besar. Tentu para penghuni tersebut biasa , sebiasa pemilu-pemilu sebelumnya. Perbedaannya ialah , dari kesemakinbanyaknya para penghuni di tahun ini. Dan , semakin semaraknya contoh "dompleng-mendompleng."
"Dompleng-mendompleng" ini merupakan fenomena menarik di tahun 2014. Atau , oke apabila hendak dikatakan secara lebih "sekolahan" dapatlah dikatakan sebagai fenomena "politik bandwagoning." Vsevolod Gunitsky menyebut bandwagoning ini sebagai [terjadi] dalam politik pemilihan umum ... mengacu pada pemberian perlindungan atas kandidat atas posisi tertentu alasannya ialah ianya telah populer sebelumnya." [1] Dukungan diberikan dengan cita-cita akan muncul dampak otomatis , yang harapannya ialah bahwa "kebaikan" dari kandidat yang didukung merupakan bukti benarnya perlindungan yang diberikan. Lebih lanjut Gunitsky berujar bahwa pihak yang bergabung ke dalam "bandwagon" bertindak sebagai pengendara yang bebas. Mereka ini hanya membuatkan "benefit" apabila yang ditumpanginya menang , sementara terhindar dari risiko apabila terjadi hal yang sebaliknya.
"Bandwagoning" ialah peristiwa pendomplengan sementara "wagon" ialah individu politik (juga dapat saja partai politik) yang didomplengi. Para pendompleng mengambil efek aktual sementara kerugian tetap menjadi milik si "wagon." Seperti itulah apa yang terjadi pada Indonesia menyambut tahun politik 2014. Hal ini ibarat dengan agresi "profit-taking" yang dilakukan para pialang di bursa saham. Si wagon ialah lembar saham , yang dibeli atau dilepas kepemilikannya hanya semata penilaian profit-loss.
Fenomena bandwagoning yang cukup mengemuka ialah tatkala Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyalonkan Rhoma Irama sebagai bakal calon presiden (bacapres 2014). Keputusan melaksanakan bandwagoning ini sangat realistis bagi PKB. Pertama , apabila electoral threshold (ET) untuk lolos ke tubuh legislatif ialah 3 ,5% , Rhoma dianggap memiliki kebaikan untuk melaksanakan leverage. Kedua , apabila hendak dicalonkan sebagai capres , maka PKB mendorong Rhoma untuk bisa mengelevasi bunyi PKB sampai minimum 20%. Rhoma kini dipekerjakan PKB sebagai "pemasar" dan sebagai pemasaran ia dijatuhi target oleh supervisornya. Serupa dengan pemasar di dunia asuransi ataupun kartu kredit , Rhoma tampaknya lebih banyak mengeluarkan modal dari kantung-kantung finansial pribadinya demi mencapai kedua target ini.
Hal seirama dengan Rhoma pun terjadi pada Jusuf Kalla (JK) , yang juga dibacapreskan. JK , ibarat dengan Rhoma , memiliki modalitas personal. Apabila Rhoma bermodalkan popularitas selaku raja dangdut dan pendakwah agama , JK bermodalkan sebagian massa Golkar , jaringan masjid di Indonesia , dan perusahaan yang "menjamin" sejumlah pengeluaran di masa-masa kampanye. PKB dapat ambil untung apabila Rhoma dan JK berhasil melaksanakan pemasaran , dan terhindar dari kerugian apabila nantinya kalah alasannya ialah sebagian besar dana kampanye yang dikeluarkan tentu bukan berasal dari kantung partai preseden Gus Dur ini.
Bandwagoning serupa pun terjadi pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Joko Widodo , manakala ia menjadi Gubernur DKI , dengan popularitas yang dimilikinya , menjadi wagon PDIP. Ia dijadikan juru kampanye di Sumatera Utara , Riau , Jawa Tengah , dan Bali. Harapan PDIP ialah , kebaikan yang ada di personal Joko Widodo akan memengaruhi perilaku pemilih di propinsi-propinsi tersebut. Ada yang berhasil dan ada pula yang tidak , alasannya ialah tidak di seluruh pilkada yang dijurkami Joko Widodo , calon-calon yang diusung PDIP ini menang.
Bahkan beban terus ditambah dengan munculnya fenomena mendorong Joko Widodo menjadi capres 2014. Kendati benar-tidaknya pencapresan Joko Widodo oleh PDIP , tetapi hal yang terlihat terang ialah , PDIP memosisikan Joko Widodo selaku "pemasar" partai supaya bisa menjadi lebih banyak didominasi di Pileg 2014. Dari sisi politik kekuasaan , ialah wajar apabila Joko Widodo dijadikan "wagon" oleh PDIP. Namun , duduk perkara budbahasa politik akan runyam apabila ia dibacapreskan untuk Pilpres 2014. Masanya sebagai gubernur DKI Jakarta belumlah tuntas untuk periode pertama , dan belumlah pasti pula apakah PDIP akan bisa meraih 20% bunyi apabila hendak mengajukan capres sendiri. Namun , sesuai prinsip bandwagoning , risiko partai ialah minimal alasannya ialah apabila "proyek" gagal maka yang banyak mengalami kerugian ialah Joko Widodo (apabila maju capres). Cap "kutu-loncat" akan mudah disematkan publik kepada. Di sisi lain , PDIP akan lebih aman alasannya ialah hanya Joko Widodo yang mengalaminya. PDIP memiliki cukup banyak stok "wagon" lain ibarat Teras Narang di Kalimantan , Ganjar Pranowo di Jawa Tengah , atau Tri Risma di Surabaya.
Bandwagoning ini kelihatannya menjadi contoh partai-partai politik dalam memaksimalisasi keuntungan dan meminimalisasi risiko. Tentu saja tidak dapat dikatakan bahwa setiap "wagon" benar-benar ialah korban "eksploitasi" alasannya ialah sebenarnya para "wagon" ini pun "mewagonisasi" partai politik yang mengendarai mereka. Mungkin , terdapat simbiosis mutualistis di antara kedua pihak. Bandwagoning secara lebih lanjut juga mengisyaratkan kuatnya faktor individidu/figur dalam tubuh partai politik. Fenomena JK yang diajukan PKB ialah salah satu bukti bahwa suatu partai "terpaksa" harus keluar dari kantungnya sendiri , merambah kantung-kantung lain guna memertahankan eksistensinya. Juga , fenomena bandwagoning ini merupakan aba-aba bahwa model rekrutmen partai harus diubah: Mencari figur-figur cantik di luar tubuh partai lalu mempromosikan mereka ke jabatan tertentu , sehingga figur-figur tersebut menjadi leverage bagi partai yang mengusungnya.
[1] Vsevolod Gunitsky , "Bandwagoning" dalam George Thomas Kurian , ed. , The Encyclopedia of Political Science , (Washington: CQ Press , 2011) p. 120.
"Dompleng-mendompleng" ini merupakan fenomena menarik di tahun 2014. Atau , oke apabila hendak dikatakan secara lebih "sekolahan" dapatlah dikatakan sebagai fenomena "politik bandwagoning." Vsevolod Gunitsky menyebut bandwagoning ini sebagai [terjadi] dalam politik pemilihan umum ... mengacu pada pemberian perlindungan atas kandidat atas posisi tertentu alasannya ialah ianya telah populer sebelumnya." [1] Dukungan diberikan dengan cita-cita akan muncul dampak otomatis , yang harapannya ialah bahwa "kebaikan" dari kandidat yang didukung merupakan bukti benarnya perlindungan yang diberikan. Lebih lanjut Gunitsky berujar bahwa pihak yang bergabung ke dalam "bandwagon" bertindak sebagai pengendara yang bebas. Mereka ini hanya membuatkan "benefit" apabila yang ditumpanginya menang , sementara terhindar dari risiko apabila terjadi hal yang sebaliknya.
"Bandwagoning" ialah peristiwa pendomplengan sementara "wagon" ialah individu politik (juga dapat saja partai politik) yang didomplengi. Para pendompleng mengambil efek aktual sementara kerugian tetap menjadi milik si "wagon." Seperti itulah apa yang terjadi pada Indonesia menyambut tahun politik 2014. Hal ini ibarat dengan agresi "profit-taking" yang dilakukan para pialang di bursa saham. Si wagon ialah lembar saham , yang dibeli atau dilepas kepemilikannya hanya semata penilaian profit-loss.
Fenomena bandwagoning yang cukup mengemuka ialah tatkala Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyalonkan Rhoma Irama sebagai bakal calon presiden (bacapres 2014). Keputusan melaksanakan bandwagoning ini sangat realistis bagi PKB. Pertama , apabila electoral threshold (ET) untuk lolos ke tubuh legislatif ialah 3 ,5% , Rhoma dianggap memiliki kebaikan untuk melaksanakan leverage. Kedua , apabila hendak dicalonkan sebagai capres , maka PKB mendorong Rhoma untuk bisa mengelevasi bunyi PKB sampai minimum 20%. Rhoma kini dipekerjakan PKB sebagai "pemasar" dan sebagai pemasaran ia dijatuhi target oleh supervisornya. Serupa dengan pemasar di dunia asuransi ataupun kartu kredit , Rhoma tampaknya lebih banyak mengeluarkan modal dari kantung-kantung finansial pribadinya demi mencapai kedua target ini.
Hal seirama dengan Rhoma pun terjadi pada Jusuf Kalla (JK) , yang juga dibacapreskan. JK , ibarat dengan Rhoma , memiliki modalitas personal. Apabila Rhoma bermodalkan popularitas selaku raja dangdut dan pendakwah agama , JK bermodalkan sebagian massa Golkar , jaringan masjid di Indonesia , dan perusahaan yang "menjamin" sejumlah pengeluaran di masa-masa kampanye. PKB dapat ambil untung apabila Rhoma dan JK berhasil melaksanakan pemasaran , dan terhindar dari kerugian apabila nantinya kalah alasannya ialah sebagian besar dana kampanye yang dikeluarkan tentu bukan berasal dari kantung partai preseden Gus Dur ini.
Bandwagoning serupa pun terjadi pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Joko Widodo , manakala ia menjadi Gubernur DKI , dengan popularitas yang dimilikinya , menjadi wagon PDIP. Ia dijadikan juru kampanye di Sumatera Utara , Riau , Jawa Tengah , dan Bali. Harapan PDIP ialah , kebaikan yang ada di personal Joko Widodo akan memengaruhi perilaku pemilih di propinsi-propinsi tersebut. Ada yang berhasil dan ada pula yang tidak , alasannya ialah tidak di seluruh pilkada yang dijurkami Joko Widodo , calon-calon yang diusung PDIP ini menang.
Bahkan beban terus ditambah dengan munculnya fenomena mendorong Joko Widodo menjadi capres 2014. Kendati benar-tidaknya pencapresan Joko Widodo oleh PDIP , tetapi hal yang terlihat terang ialah , PDIP memosisikan Joko Widodo selaku "pemasar" partai supaya bisa menjadi lebih banyak didominasi di Pileg 2014. Dari sisi politik kekuasaan , ialah wajar apabila Joko Widodo dijadikan "wagon" oleh PDIP. Namun , duduk perkara budbahasa politik akan runyam apabila ia dibacapreskan untuk Pilpres 2014. Masanya sebagai gubernur DKI Jakarta belumlah tuntas untuk periode pertama , dan belumlah pasti pula apakah PDIP akan bisa meraih 20% bunyi apabila hendak mengajukan capres sendiri. Namun , sesuai prinsip bandwagoning , risiko partai ialah minimal alasannya ialah apabila "proyek" gagal maka yang banyak mengalami kerugian ialah Joko Widodo (apabila maju capres). Cap "kutu-loncat" akan mudah disematkan publik kepada. Di sisi lain , PDIP akan lebih aman alasannya ialah hanya Joko Widodo yang mengalaminya. PDIP memiliki cukup banyak stok "wagon" lain ibarat Teras Narang di Kalimantan , Ganjar Pranowo di Jawa Tengah , atau Tri Risma di Surabaya.
Bandwagoning ini kelihatannya menjadi contoh partai-partai politik dalam memaksimalisasi keuntungan dan meminimalisasi risiko. Tentu saja tidak dapat dikatakan bahwa setiap "wagon" benar-benar ialah korban "eksploitasi" alasannya ialah sebenarnya para "wagon" ini pun "mewagonisasi" partai politik yang mengendarai mereka. Mungkin , terdapat simbiosis mutualistis di antara kedua pihak. Bandwagoning secara lebih lanjut juga mengisyaratkan kuatnya faktor individidu/figur dalam tubuh partai politik. Fenomena JK yang diajukan PKB ialah salah satu bukti bahwa suatu partai "terpaksa" harus keluar dari kantungnya sendiri , merambah kantung-kantung lain guna memertahankan eksistensinya. Juga , fenomena bandwagoning ini merupakan aba-aba bahwa model rekrutmen partai harus diubah: Mencari figur-figur cantik di luar tubuh partai lalu mempromosikan mereka ke jabatan tertentu , sehingga figur-figur tersebut menjadi leverage bagi partai yang mengusungnya.
[1] Vsevolod Gunitsky , "Bandwagoning" dalam George Thomas Kurian , ed. , The Encyclopedia of Political Science , (Washington: CQ Press , 2011) p. 120.
0 Response to "Bandwagoning dalam Tahun Politik Indonesia 2014"