Di Posting Oleh : INFO PENDIDIKAN
Kategori : EDUCATION Educations
Konsep dan Rasional “Social Studies” secara Umum
Amerika
Serikat (AS) dianggap sebagai salah satu Negara yang telah menunjukan reputasi
akademis dalam bidang social Studies.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for Social Studies
(NCSS) dalam pertemuannya yang pertama kali pada tanggal 20-30 November 1935.
Pada pertemuan itu disepakati bahwa “Social
Science as the Core of Curriculum”, dalam kerangka yang belum solid. Longstreet
(1965:356) menggambarkan pertemuan tersebut sebagai pertemuan yang penuh dengan
“quagmire of confusion – a murky
reflection of unresolved intellectual struggles in the mindst of major social, political
and economic upheavals”, maksudnya adalah pertemuan tersebut penuh dengan
kebingungan dan dengan refleksi pemikiran yang tidak jelas sebagai dampak dari
perdebatan intelektual yang tak terselesaikan, di tengah situasi sosial,
politik dan ekonomi yang penuh gejolak.
Pilar
historis-epiotemologis social studies
yang pertama berupa suatu definisi tentang “social
studies” yang telah dipancangkan oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937
(Barr, Barth, dan Shermis,1977:1-2) yaitu The
Social Studies are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purposes,
maksudnya adalah bahwa the social studies
adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Pengertian
ini kemudian dibakukan dalam The United
States of Education’s Standard Terminology for Curriculum and Instruction
(dalam Barr dan kawan-kawan,1977:2) sebagai berikut : social
studies memuat aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik,
sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi, dan filsafat yang dipilih
untuk tujuan pembelajaran sekolah dan di perguruan tinggi.
Bila
dianalisis dengan cermat dalam pengertian pertama social studies diatas
menyiratkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Social studies
merupakan disiplin dari ilmu-ilmu sosial (Welton dan Mallan,1988:14)
2.
Disiplin ini
dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan/pembelajaran baik pada tingkat
persekolahan maupun tingkat pendidikan tinggi.
3.
Aspek-aspek dari
masing-masing disiplin ilmu sosial perlu diseleksi sesuai dengan tujuan
pendidikan/pembelajaran.
Ditegaskan oleh Barr, dan
kawan-kawan (1977:36) pada tahun 1940-1960 terjadi tarik-menarik antara dua
visi social studies. Di satu pihak
adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk
tujuan citizenship education yang
terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di pihak lain terus
bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung
memperlemah konsepsi social studies
education. Hal ini diakibatkan oleh adanya berbagai penelitian yang
dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama mengenai pengertian
dan sikap siswa. Selain itu, hal tersebut juga siakibatkan oleh adanya opini publik
berkaitan dengan Perang Dunia II, Perang Dingin, dan Perang Korea, serta kritik
publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan
kemampuan berfikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.
Pada tahun 1960 terjadi gerakan the new social studies yang menjadi
pilar dari perkembangan social studies.
Gerakan ini dipicu lebih kuat oleh pemikiran Jarome Bruner dalam bukunya The Process of Education yang dengan
tegas berargumentasi bahwa any subject
can be tought effectively in some intellectually honest form to any child at
any stage of development. Pada era itu tercatat lebih dari 50 proyek
pengembangan kurikulum dan bahan belajar social studies, termasuk di dalamnya proyek
yang mencoba merintis pengintegrasian social studies untuk tujuan citizenship
education. Dari berbagai penelitian itu para ahli ternyata menemukan banyak
kesulitan dalam mengoprasionalkan teori Bruner. Kemudian Joseph J. Schwab
berpendapat bahwa setiap disiplin ilmu adalah unik sehingga seyogianya
diajarkan secara terpisah, hal inilah yang mendorong berdirinya The Social Science Education Contortium
(SSEC). Pada akhir tahun 1960-an R. Hanna merintis pengembangan kurikulum yang
bertolak dari “basic human activities”.
Pada tahun 1973-1983 seorang ahli
bernama Wesley mengemukakan pendapatnya mengenai definisi social studies yang terdiri dari beberapa hal, yaitu :
1.
Social studies
merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu;
2.
Misi utama social studies adalah pendidikan
kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3.
Sumber utama
konten social studies adalah social studies dan humanities;
4.
Dalam upaya
penyiapan warga Negara yang demokratis terbuka kemungkinan perbedaan dalam
orientasi, visi, tujuan, dan metode pembelajaran.
Pada
dasawarsa 1980-an perkembangan “social
studies” ditandai oleh lahirnya dua pilar akademis, yakni Report of the National Council for the
Social Studies Task Force on Scope
and Sequence, dan A Report of the Curriculum Task Force of the National
Commission on Social Studies in the Schools. Dalam laporan tersebut
terdapat hal-hal sebagai berikut :
1. “Social studies”
merupakan mata pelajaran dasar di seluruh jenjang pendidikan persekolahan;
2. Tujuan utama dari social
studies adalah mengembangkan sisiwa untuk menjadi warga negara yang
memiliki pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk
berperan serta dalam kehidupan masyarakat;
3. Konten pelajarannya digali dan diseleksi dari sejarah
dari ilmu-ulmu sosial, serta banyak hal dari humaniora dan sains;
4. Pembelajarannya menggunakan cara-cara yang
mencerminkan kesadaran pribadi kemasyarakatan, pengalaman budaya, dan
perkembangan pribadi siswa.
Hal ini mencermainkan bahwa pada dasawarsa 1980-an
telah terjadi kristalisasi lebih pemikiran social
studies yang lebih solid dan telah mencairnya masalah ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan
yang menandai perkembangan ‘social studies” pada 4-5 dasawarsa sebelumnya.
Di dalam laporan NCSS yang kedua
nampak jelas upaya untuk memperjelas visi, misi, dan strategi social studies. Jika dilihat dari
karakteristik dan tujuannya, social
studies education atau social studies
yang diperkirakan pada abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan
kewarganegaraan sebagai salah satu esensi dalam pengembangan “civic responsibility and active civic
participation”.
Pada tahun 1992, the board of directors NCSS mengadopsi
visi terbaru dari social studies yang
kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 yang berjudul Expectations of Excellence: Curriculum
Standards for Social Studies. Sebagai rambu-rambu
dalam rangka mewujudkan visi, misi, dan strategi baru social studies, NCSS menggariskan hal-hal sebagi berikut :
1.
Program social studies mempunyai tujuan pokok
mengembangkan kemampuan sebagai warga negara yang memerlukan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap untuk dapat berperan serta dalam kehidupan demokrasi;
2.
Program social studies dalam dunia pendidikan
persekolahan, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan pendidikan menengah,
ditandai oleh keterpaduan antara pengetahuan, kemampuan, dan penerapan antar
disiplin ilmu;
3.
Program social studies dititikberatkan pada
upaya membantu siswa dalam membangun pengetahuan dasar dan bersikap aktif
melalui cara pandang secara akademik terhadap realita.
4.
Program social
studies mencerminkan “the changing nature
of knowledge, fostering entirely new and highly integrated approaches to
resolving of significance to humanity”.
Untuk dapat mencapai
semua yang digagaskan mengenai “social
studies” tersebut, dikemukakan adanya tiga stategi dasar, yakni supporting the common good, adopting common
and multiple perfectives, and applying knowledge, skills, and values to civic
action. Hal tersebut menyangkut pada pengembangan democratic ideals, principles, and practices; pengembangan
kemampuan siswa untuk dapat melihat masalah dari berbagai perspektif, yaitu personal perspective, academic perspective,
pluralist perspective, and global perspective; dan perwujudan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dalam perilaku sebagai warga negara (NCSS,1994:57).
0 Response to "RESUME TENTANG PEMBELAJARAN SOSIAL (SOCIAL STUDIES)"